Bagaimana Awal Media Sosial Berubah Jadi “Mesin Politik” Dalam Pesta Demokrasi
SUARAKITA - Dalam demokrasi berpolitik, kini media sosial ibarat pedang bermata dua. Bila dimanfaatkan dengan baik akan memberi manfaat bagi orang banyak. Sebaliknya, ketika digunakan dengan kurang bijak, medsos hanya menimbulkan kerumunan massa di Monas yang nirmakna.
Salah satu bilah pedang berbahaya itu pernah terjadi saat Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Boleh dikatakan saat itu merupakan periode terkelam dalam era demokrasi digital. Hoax mulai merajalela, membutakan masyarakat yang masih gagap literasi digital sehingga mudah terprovokasi isu bohong.
Pada 18 April 2017, BBC News Indonesia pernah mewawancarai Matahari Timoer, salah satu anggota ICT Watch. Dia mengatakan, kehidupan digital telah memasuki dunia kegelapan, dan itulah mengapa masyarakat Indonesia butuh orang-orang untuk menjadi lentera dan memerangi kegelapan ini.
Pada tahun itu pula, dia mulai membicarakan kampanye untuk melawan penyebaran hoax, yang dia percaya bisa meningkatkan risiko intoleransi agama di Indonesia.
Bahkan, selama Pilkada 2017 tersebut, Dewan Pers menemukan lebih dari 40.000 situs yang mengklaim menjadi situs berita, tetapi kebanyakan tidak terdaftar. Dewan Pers pun akhirnya membuat sistem verifikasi media online untuk menyaring berita bohong.
Khairul Ashar, salah satu pendiri Turn Back hoax, menyebutkan ketika itu ada lebih dari 1.900 laporan dugaan hoax dalam tiga bulan terakhir. Dari angka ini, lanjut dia, lebih dari seribu laporan terkonfirmasi hoax. Kebanyakan tentang politik, terkait Pilkada Jakarta dan isu agama berperan besar.
Awal demokrasi digital
Barangkali, boleh dikatakan Pilkada DKI 2012 merupakan titik awal kemunculan demokrasi digital dan dukungan yang datang benar-benar murni mendukung. Belum ada pasukan bayaran dan hoax yang bertebaran.
Sosok Jokowi yang fenomenal dan menampilkan model kepemimpinan baru saat menjadi Gubernur DKI Jakarta menjadi alasan masifnya dukungan dari media sosial.
Bermunculan pula model relawan media sosial seperti Jasmev sebagai pendukung paslon Jokowi-Ahok di Pilkada DKI. Pasangan ini yang hanya diusung oleh dua Parpol, mengalahkan pasangan Foke-Nara yang berstatus incumbent dan didukung oleh 7 Parpol.
Keberhasilan media sosial pada Pilkada DKI 2012 pun menjadikan penggunaannya semakin massif pada Pilpres 2014. Bekas pendukung Jokowi-Ahok pada Pilkada 2012 kembali bergabung di Pilpres 2014, Jasmev diaktifkan lagi dan bermunculan model relawan sosial media sejenis.
Dari pasangan lawan juga demikian, semua mulai melek bahwa media sosial merupakan medan perang. Dari sini, pasukan bayaran hoax mulai bermunculan.
Tentu publik masih ingat majalah Obor Rakyat yang ketika itu menjadi leading dalam penyebaran hoax yang diarahkan kepada pak Jokowi. Mulai dari isu Jokowi dibekingi China, Amerika, Israel, Yahudi, dan lain sebagainya.
Melawan hoax
Keberhasilan hoax pada 2017 tampaknya ingin kembali diulangi pada Pilpres 2019. Intensitas hoax pada Pilpres 2019 hampir menyamai Pilkada 2017. Setiap hari hoax baru bertebaran.
Yang para penyebar hoax tidak tahu, masyarakat Indonesia sudah jauh lebih melek literasi digital. Serangan hoax terhadap Jokowi-Amin sama sekali tidak berefek, malah Jokowi-Amin menang dengan selisih 2 digit. Strategi hoax terbukti tidak berhasil diterapkan di skala yang lebih luas.
Sekali lagi bangsa ini membuktikan diri sebagai bangsa yang tidak mudah dipecah belah dan selalu mengedepankan persatuan. Indonesia dengan keberagamannya sangat mencintai persatuan.
Ke depan, media sosial tetap akan jadi medan perang, bahkan penggunaannya tentu akan lebih massif. Selain karena penggunanya yang diprediksi semakin banyak, kekuatan media sosial begitu luar biasa.
Seperti yang dikatakan di atas tadi, media sosial ibarat pedang bermata dua, akan bermanfaat bila digunakan oleh orang yang tepat dan bijaksana. Wajar bila semakin banyak tokoh politik yang berupaya menggaet simpati publik melalui media sosial.
Suksesi kepemimpinan
Bila ingin mengulangi kisah sukses pada Pilkada DKI 2012, Pilpres 2014 dan 2019, perlu sosok yang fenomenal seperti Jokowi kala itu. Perlu pemimpin yang menawarkan sesuatu yang baru, cara komunikasi dan pendekatan yang orisinil.
Yang menawarkan narasi baru bagi Indonesia yang sedang giat membangun atau setidaknya, pemimpin yang mampu melanjutkan kerja nyata Jokowi selama dua periode ini. Bangsa ini perlu mencari sosok yang tidak berpura-pura.
Apa yang ia tampilkan di media dan media sosial adalah sosok aslinya dalam kesehariannya. Sosok yang mencintai Indonesia dan siap bekerja untuk rakyat Indonesia. Dan yang terpenting, rakyat perlu sosok yang tidak punya beban masa lalu, seperti pak Jokowi.
Dari rilis elektabilitas digital drone emprit beberapa waktu lalu ada beberapa nama yang disebut-sebut potensial sebagai Capres 2024. Bila dipadukan dengan kriteria di atas, tampaknya hanya nama Puan Maharani yang memenuhi kriteria. (Pritta T)